Banteng Indonesia,- Di bawah bayang-bayang Masjid Al Jihad, sekitar 100 meter dari gerbangnya, berdiri sebuah gerobak kopi mungil namun elegan.
Tulisan “JWCOFFE.CO” terpasang rapi di bodi gerobak—sebuah simbol semangat dan kerja keras dari dua bersaudara yang membangun mimpi dari pinggir jalan.
Diki Pranata, 25 tahun, menjadi wajah yang ramah menyambut pelanggan setiap hari. Ia bukan pemilik utama gerobak itu, melainkan sang abang. Namun Diki menjadi tangan kanan, penggerak di lapangan, sekaligus desainer gerobak yang kini mulai menarik perhatian masyarakat Medan.
“Produk ini milik abang saya, saya membantu merintis dan mengelola penjualan,” ujar Diki, singkat namun mantap.
*Kopi Racikan Rumah, Rasa yang Berbeda*
JWCOFFE tidak menjual kopi instan atau kemasan pabrik. Semua racikan berasal dari rumah—diramu secara mandiri, diseduh dengan sederhana.
Tidak ada mesin canggih atau istilah menu yang rumit, tapi rasa kopi mereka tetap khas dan meninggalkan kesan.
Harga yang ditawarkan pun bersahabat: mulai dari Rp 10.000 per cup.
Segmen pasarnya jelas, yakni mahasiswa dan pekerja kantoran yang lalu-lalang di sekitar lokasi. Tapi pelanggan dari berbagai usia datang—bahkan kalangan orang tua turut menikmati kopi hangat yang dijajakan Diki setiap pagi.
*Modal Tipis, Laba Jujur, Tekad Besar*
JWCOFFE menargetkan 33 cup terjual per hari. Pada hari biasa, mereka rata-rata mencapai 30 cup. Saat akhir pekan, jumlah itu bisa melonjak menjadi 70–80 cup.
Dengan keuntungan bersih Rp 1.000 per gelas, gerobak kecil ini menghasilkan pendapatan bersih sekitar Rp 2,5 juta per bulan.
Mungkin tak seberapa jika dibanding bisnis besar, namun bagi Diki dan keluarganya, ini adalah hasil kerja keras dan awal dari sesuatu yang lebih besar. “Kami pelan-pelan saja, yang penting konsisten,” katanya.
*Pelanggan Setia, menunjang Semangat Aktivitas*
Gerobak JWCOFFE bukan hanya tempat jualan, tapi juga ruang interaksi. Pelanggan yang datang tidak hanya membeli kopi, tapi juga bercakap, bertukar senyum, dan kadang berbagi cerita singkat.
“Pelanggan kami kebanyakan mahasiswa dan pekerja kantoran, meski ada juga dari kalangan orang tua,” ujar Diki.
Kehangatan dan keramahan itu menjadi nilai lebih yang tak bisa dibeli.
JWCOFFE tumbuh bukan hanya karena rasa kopi, tapi karena rasa saling percaya antara penjual dan pembelinya.
*Merancang Masa Depan: Gerobak-Gerbakan Berikutnya*
Tak ingin puas di satu titik, Diki dan abangnya tengah merancang ekspansi. Medan Perintis dan Medan Sunggal menjadi dua lokasi yang dibidik untuk penempatan gerobak berikutnya.
Mereka juga membuka peluang kemitraan, memberi kesempatan bagi orang lain untuk ikut membangun usaha serupa. Langkah ini bukan sekadar strategi bisnis.
Ini adalah bentuk solidaritas sesama pelaku usaha kecil—memberi ruang tumbuh bagi lebih banyak anak muda yang ingin memulai dari nol.
*Kopi, Keluarga, dan Ketekunan*
JWCOFFE adalah contoh nyata bagaimana usaha kecil bisa besar jika dijalankan dengan komitmen, kreativitas, dan semangat kekeluargaan. Di tengah ketatnya persaingan dunia kopi, mereka tetap bertahan dengan pendekatan yang bersahaja, jujur, dan manusiawi.
Di balik setiap gelas kopi yang dijual dari gerobak itu, ada kisah perjuangan. Ada harapan. Ada keluarga yang saling menopang, dan pemuda yang percaya bahwa sukses bisa diracik dari gerobak kecil, asal tak pernah berhenti mencoba.(BI-11)
Discussion about this post